Kediri, headlinenews.cloud – Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia kembali menunjukkan ketegasannya dalam mengusut dugaan korupsi yang melibatkan dana negara. Kali ini, giliran Iwan Setiawan Lukminto, Komisaris Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), yang diamankan penyidik usai beberapa kali mangkir dari panggilan pemeriksaan terkait dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit oleh bank milik negara.
Iwan Setiawan bukan sosok asing di tubuh perusahaan tekstil raksasa tersebut. Ia merupakan putra pendiri Sritex dan pernah menjabat sebagai Direktur Utama selama hampir satu dekade, dari 2014 hingga 2023. Posisi itu kini dipegang adiknya, Iwan Kurniawan Lukminto.
Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, upaya pemanggilan telah dilakukan secara resmi oleh penyidik. Namun Iwan tidak hadir tanpa memberikan alasan yang sah. Mengingat pentingnya keterangannya dalam proses penyidikan, serta adanya kekhawatiran upaya menghindar dari hukum, tim akhirnya bergerak melakukan pemantauan terhadap keberadaannya.
“Setelah beberapa kali mangkir dan tidak memberikan keterangan yang dibutuhkan, penyidik melakukan pelacakan intensif. Berdasarkan data nomor ponsel dan pergerakan terakhir, ia berhasil diamankan di kawasan Jalan Enggano, Solo, Jawa Tengah,” ungkap Harli dalam konferensi pers, Rabu (21/5).
Iwan kemudian langsung dibawa ke Jakarta untuk diperiksa oleh Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus). Pemeriksaan difokuskan pada dugaan keterlibatannya dalam penyalahgunaan fasilitas kredit dari bank milik negara kepada Sritex, yang jumlahnya disebut mencapai triliunan rupiah.
Korupsi di Balik Kredit, Dana Negara Ikut Dirugikan
Kasus ini menarik perhatian karena menyangkut penggunaan dana dari bank pelat merah yang notabene merupakan bagian dari keuangan negara. Meski Sritex adalah perusahaan swasta, status bank pemberi kredit yang berada di bawah kendali pemerintah menjadikan perkara ini masuk dalam kategori tindak pidana korupsi.
Harli menegaskan, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khususnya Pasal 1 ayat (1), keuangan negara meliputi seluruh hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan negara yang dikelola oleh BUMN dan BUMD.
“Artinya, jika terjadi penyimpangan dalam penggunaan fasilitas kredit dari bank milik negara, maka itu juga berdampak pada keuangan negara. Inilah yang menjadi dasar Kejagung menelusuri kasus ini sebagai dugaan tindak pidana korupsi,” jelasnya.
Lebih lanjut, Harli juga merujuk pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di mana disebutkan bahwa setiap orang yang memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara dapat diancam pidana maksimal 20 tahun penjara.
Dugaan Rangkaian Praktik Keuangan Bermasalah di Tubuh Sritex
Sejak dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada 2021, PT Sritex tengah dalam sorotan publik. Perusahaan ini memiliki utang yang disebut-sebut mencapai lebih dari Rp20 triliun kepada sejumlah kreditur dalam dan luar negeri. Salah satu sorotan terbesar adalah besarnya eksposur pembiayaan dari bank pelat merah.
Penangkapan Iwan Setiawan menjadi langkah penting untuk mengurai dugaan skema korupsi yang mungkin telah berlangsung selama bertahun-tahun. Publik pun menanti bagaimana komitmen Kejaksaan Agung dalam mengusut tuntas keterlibatan pihak-pihak lain, baik dari sektor swasta maupun institusi keuangan negara.
Harapan Penegakan Hukum di Dunia Korporasi
Kasus ini membuka babak baru dalam penguatan akuntabilitas sektor swasta yang memanfaatkan dana negara. Meski bukan bagian dari lembaga pemerintahan, perusahaan swasta yang menerima aliran dana dari sumber keuangan negara tetap terikat oleh prinsip akuntabilitas dan transparansi penggunaan dana publik.
"Penanganan perkara ini juga menjadi pengingat bahwa tak ada pihak yang kebal hukum, baik individu maupun korporasi. Negara berhak menuntut pertanggungjawaban bila uang rakyat disalahgunakan," tutup Harli.(red.al)
Post a Comment