KEDIRI, headlinenews.cloud– Di tengah derasnya arus modernisasi, Adi Wahyono, seniman asal Desa Menang, Kecamatan Pagu, tetap teguh pada pendiriannya: menekuni batik klasik. Idealismenya dalam menjaga nilai-nilai tradisional menjadikannya sosok unik di antara pembatik lain. Bagi Adi, batik bukan sekadar kain bermotif, melainkan karya seni yang memuat filosofi dan sejarah Bumi Panjalu.
Dalam sebuah pameran di Gedung Kesenian dan Museum Kabupaten Kediri, Selasa (18/6), Adi memamerkan salah satu mahakaryanya: Padma Loka Moksa, batik klasik berukuran 250 x 105 cm yang menceritakan kisah moksa Raja Sri Aji Jayabaya. Goresan motif dalam batik tersebut menggambarkan elemen-elemen spiritual seperti lingga, yoni, batu manik, dan teratai yang melambangkan wujud raja luhur.
“Butuh dua bulan lebih untuk menyempurnakan karya ini. Saya juga memohon izin secara spiritual kepada yang bahurekso,” ungkap Adi.
Warisan Nenek yang Mengakar
Kecintaan Adi terhadap batik tumbuh sejak kecil, ketika ia sering menyaksikan neneknya mencanting. Ketertarikan itu terus ia rawat, bahkan ketika kuliah di Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Selepas meniti karir sebagai desainer interior di Malang, Adi memutuskan pulang kampung 20 tahun lalu untuk merawat ibunya. Di desa itulah, ia menekuni batik secara serius.
Tahun 2010 menjadi titik balik kariernya. Dalam lomba desain batik khas Kabupaten Kediri yang digelar Bupati Haryanti Sutrisno, Adi mengirim tiga karya dan semuanya lolos sebagai juara. Sejak itu, namanya mulai dikenal dan karyanya sering diikutkan dalam pameran hingga pelatihan batik klasik.
“Karakter saya sebagai seniman batik terbentuk dari proses itu. Saya selalu mulai dari konsep, merumuskan gagasan, lalu mencari bentuk visualnya. Semuanya saya kaitkan dengan sejarah Kediri,” jelasnya.
Masterpiece dan Prestasi
Adi telah menciptakan puluhan motif batik klasik, termasuk 10 masterpiece yang mengangkat kisah-kisah Panjalu, seperti Padma Sangka, yang kini dikenal sebagai salah satu batik khas Kabupaten Kediri. Karyanya bahkan menembus tingkat nasional. Dalam lomba selendang batik Adiwastra Nusantara di JCC Jakarta (2018), Adi berhasil meraih juara ketiga.
Di tengah popularitas batik kontemporer, Adi tetap percaya bahwa batik klasik memiliki pasarnya sendiri, terutama bagi para kolektor dan pecinta wastra nusantara.
“Kalau kita sudah menemukan karakter yang beda dari orang lain, persaingan itu tidak jadi masalah. Itu yang saya tanamkan ke teman-teman,” tegas pengurus Asosiasi Pengrajin Batik Jawa Timur ini.
UKM dan Regenerasi
Sejak 2011, Adi mendirikan UKM batik Cittaka Dhomas di desanya. Nama itu bermakna ‘buah pikiran cemerlang’, dan menjadi semangat Adi dalam melahirkan karya orisinal. Ia kini mempekerjakan empat pencanting dan tetap memproduksi batik kontemporer untuk memenuhi permintaan pasar. Namun, lini produk klasik tetap menjadi jati diri utamanya.
“Yang penting, brand yang mencerminkan jiwa kami tetap harus ada,” tutupnya.
Dari rumah sederhananya di Desa Menang, Adi Wahyono terus menorehkan sejarah melalui wastra. Menjadi pelita kecil yang menjaga tradisi di tengah derasnya zaman modern. (red:a)
Post a Comment