KEDIRI, headlinenews.cloud– Tahun 2023 menjadi titik bersejarah bagi masyarakat Kediri dan sekitarnya. Setelah bertahun-tahun bergantung pada Bandara Juanda di Surabaya, akhirnya wilayah Mataraman memiliki bandara sendiri: Bandara Dhoho Kediri.
Bandara yang dibangun oleh PT Surya Dhoho Investama, anak perusahaan PT Gudang Garam, ini merupakan bandara swasta pertama bertaraf internasional di Indonesia. Dengan kapasitas hingga 1,5 juta penumpang per tahun, Bandara Dhoho digadang-gadang menjadi pintu gerbang baru pertumbuhan ekonomi kawasan selatan Jawa Timur.
Namun, seiring waktu berjalan, euforia itu mulai memudar.
Operasional Dihentikan Sementara, Warga Resah
Kabar terbaru menyebutkan bahwa Bandara Dhoho akan berhenti beroperasi sementara hingga 31 Juli 2025. Alasannya, pesawat Citilink—satu-satunya maskapai yang beroperasi di sana—harus menjalani perawatan atau maintenance.
Meski bersifat sementara, penghentian ini menimbulkan kekhawatiran: akankah Bandara Dhoho bernasib seperti Kertajati di masa lalu? Sebuah bandara megah yang justru kesepian.
Rute Minim, Harga Mahal
Sebelumnya, Bandara Dhoho melayani dua rute: Kediri–Jakarta dan Kediri–Balikpapan. Namun rute Balikpapan dihentikan, menyisakan satu penerbangan seminggu ke Jakarta.
Harga tiket yang mahal jadi keluhan utama masyarakat. Tak sedikit yang membandingkannya dengan tarif di Bandara Juanda yang lebih kompetitif, ditambah pilihan maskapai dan rute yang jauh lebih banyak.
Dengan kondisi ini, tak heran jika warga tetap memilih naik kereta api kelas eksekutif ke Jakarta, atau menempuh perjalanan darat ke Juanda meski memakan waktu 2–3 jam.
Investasi Besar, Jangan Sampai Mubazir
Bandara Dhoho dibangun di atas lahan lebih dari 300 hektare, dengan runway sepanjang 3.300 meter yang siap didarati pesawat besar seperti Airbus A330. Proyek ini menelan investasi triliunan rupiah, dan menggusur ribuan hektare lahan pertanian.
Meski dibangun oleh swasta, pemerintah tetap memiliki tanggung jawab moral dan strategis untuk ikut mendukung keberlanjutan operasional bandara ini. Setidaknya, mendorong maskapai lain masuk, membuka rute potensial seperti Denpasar, Balikpapan, Makassar, dan Banjarmasin, atau bahkan memberikan subsidi harga tiket agar lebih kompetitif.
Lebih dari Sekadar Bandara
Bandara Dhoho bukan sekadar tempat naik-turun pesawat. Ia adalah simbol pemerataan pembangunan, penyeimbang dominasi utara Jawa Timur. Dengan adanya bandara ini, wilayah seperti Kediri, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, hingga Nganjuk punya peluang lebih besar dalam mengembangkan pariwisata, perdagangan, dan ekspor produk lokal.
Namun, simbol itu akan kehilangan makna jika dibiarkan berjalan sendiri tanpa dukungan yang memadai.
Masih Ada Harapan
Komentar warganet di akun Instagram resmi Bandara Dhoho menunjukkan bahwa masyarakat belum kehilangan harapan. Banyak yang meminta agar bandara ini tidak ditinggalkan, dan berharap adanya penambahan rute serta penyesuaian harga tiket.
Kini, bola ada di tangan pengelola dan pemerintah. Akankah mereka serius memaksimalkan potensi Bandara Dhoho, atau justru membiarkannya menjadi bandara sunyi berikutnya di Indonesia?
Waktu akan menjawab. Tapi masyarakat berharap, Bandara Dhoho bangkit, bukan tenggelam. (red:a)
Post a Comment