Kediri – Jawa Timur, headlinenews.cloud | Di jagat pelaksanaan proyek P3TGAI yang berbasis swakelola masyarakat, muncul satu nama yang membingungkan sekaligus meresahkan: aspirator. Mereka tidak terlihat dalam dokumen resmi, tapi semua orang desa mengenal mereka. Pertanyaannya: siapa mereka sebenarnya? Malaikat pembawa proyek atau "makhluk astral" penyedot dana pembangunan?
Bagi sebagian orang, aspirator dianggap sebagai "jembatan" menuju proyek. Tapi bagi pelaksana di lapangan, mereka adalah penyebab menyusutnya anggaran akibat potongan liar sebesar 20%, yang tidak pernah dijelaskan secara transparan.
Salah satu tokoh yang disebut sebagai aspirator berinisial “A” dari Desa Canggu, Kecamatan Badas. Kepada media, A menolak disebut sebagai pelaku potongan dana. “Saya cuma bantu, nggak pernah minta uang,” ucapnya. Namun data LP3-NKRI justru menunjukkan pola sistematis keterlibatan yang berulang di sejumlah desa.
Fenomena ini menimbulkan kontroversi besar. Sebagian pihak menyatakan bahwa peran aspirator harus dihapuskan karena tidak memiliki dasar hukum. Namun, ada pula yang membela mereka, dengan dalih “sudah membantu mempermudah proses.”
“Kalau proyek tanpa aspirator, katanya bisa tertahan bertahun-tahun. Tapi kok harus bayar mahal? Ini bukan jasa, ini pungli terselubung,” ujar salah satu anggota kelompok tani penerima manfaat.
Pertarungan narasi ini menciptakan ketegangan antara pendukung jalur formal dan para “pemain lama” yang terbiasa dengan sistem gelap. Bahkan, beberapa pihak mengusulkan agar aspirator dilegalkan melalui jalur kemitraan, agar ada kontrol dan akuntabilitas.
Namun para pemerhati antikorupsi menolak mentah-mentah. “Kalau yang ilegal dilegalkan hanya karena sudah terbiasa, maka hukum tak lagi punya makna. Ini jalan menuju kebangkrutan moral pemerintahan desa,” tegas Direktur Eksekutif LP3-NKRI.
Polemik ini tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Satu hal yang pasti: rakyat berhak tahu ke mana perginya setiap rupiah uang negara.(RED.TIM)
Post a Comment