JAKARTA, headlinenews.cloud– Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan bahwa penulisan ulang sejarah nasional tidak akan menghapus fakta-fakta penting, termasuk soal kekerasan terhadap perempuan dalam tragedi Mei 1998. Ia membantah tudingan bahwa tragedi pemerkosaan massal akan disingkirkan dari catatan sejarah versi terbaru.
Fadli menyampaikan bahwa penulisan ulang sejarah justru bertujuan memperkuat posisi dan kontribusi perempuan dalam berbagai peristiwa bangsa. “Salah satu semangat utama dalam penyusunan buku sejarah ini adalah untuk menegaskan dan mengakui peran perempuan dalam sejarah Indonesia,” ujar Fadli dalam siaran pers yang diterima RRI, Senin (16/6/2025).
Menurutnya, isu-isu yang menyangkut gerakan, perjuangan, serta pengalaman perempuan telah diintegrasikan secara menyeluruh dalam struktur narasi buku sejarah yang sedang disusun.
Pernyataan Kontroversial Picu Kritik dari Koalisi Perempuan
Pernyataan Fadli ini muncul setelah dirinya menuai kritik atas komentarnya dalam siniar kanal YouTube IDN Times, Selasa (10/6/2025), yang menyebut tidak ada bukti kuat soal pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998. Ucapan tersebut sontak memicu reaksi keras dari kelompok pegiat hak perempuan dan penyintas.
Salah satu suara yang menolak adalah dari Siti Ummul Khoir, perwakilan Koalisi Perempuan Indonesia. Ia menilai bahwa pernyataan Fadli justru mengabaikan penderitaan penyintas kekerasan seksual, serta mencerminkan kurangnya empati negara terhadap sejarah luka perempuan.
“Sejarah kekerasan seksual tidak bisa dibantah hanya dengan satu komentar. Ini memperpanjang trauma korban dan menunjukkan kegagalan negara dalam menunjukkan tanggung jawab moral,” ucap Siti dalam konferensi pers daring bertajuk Perkosaan Mei 1998 Bukan Rumor, Sabtu (14/6/2025).
Koalisi Perempuan Tolak Narasi Sejarah yang Bungkam Suara Korban
Koalisi Perempuan Indonesia menegaskan penolakannya terhadap setiap bentuk penulisan sejarah yang menghilangkan suara para penyintas. Menurut mereka, sejarah bangsa harus ditulis dengan keberpihakan pada pemulihan korban dan keadilan sosial.
“Negara wajib memastikan sejarah mencatat suara korban, bukan justru membungkamnya,” tutur Siti. Ia menambahkan bahwa berbagai karya budaya, seperti cerpen "Clara" karya Seno Gumira Ajidarma, menjadi bukti kuat bahwa kekerasan seksual dalam tragedi Mei 1998 benar-benar terjadi.
“Cerita seperti Clara adalah dokumentasi kultural penting, pengingat bahwa kekerasan terhadap perempuan bukan ilusi atau wacana politik semata,” katanya lagi.
Siti juga menyerukan agar generasi muda ikut serta dalam membangun narasi sejarah alternatif yang lebih berpihak pada pengalaman korban dan kebenaran. (red:a)
Post a Comment