headlinenews.cloud - Masih rendahnya kesadaran masyarakat mengurangi penggunaan plastik sekali pakai membuat Kota Kediri terus dihantui persoalan sampah plastik. Padahal, Peraturan Wali Kota (Perwali) sudah diberlakukan sejak lama untuk menekan penggunaannya.
Setiap hari, Yuni, 38, menjajakan es teh jumbo di kawasan Kecamatan Pesantren. Minuman yang ia kemas dalam gelas plastik lengkap dengan sedotan dan pembungkus kresek itu menjadi pilihan favorit pelanggan yang mayoritas membelinya untuk dibawa pulang.
“Kalau enggak dikasih plastik, biasanya pembeli malah nanya. Katanya biar enggak tumpah di jalan,” ujarnya.
Dalam satu porsi es teh jumbo yang ia jual, setidaknya ada empat jenis plastik yang akan segera jadi limbah: gelas plastik, sedotan plastik, bungkus sedotan, dan kantong plastik pembungkus.
Meski mengaku mengetahui adanya Perwali soal pembatasan plastik, Yuni beralasan kesulitan mencari alternatif kemasan yang lebih ramah lingkungan. “Kalau enggak pakai plastik, bingung juga. Kan dagangan harus praktis dan cepat dibungkus,” ungkapnya.
Fenomena serupa masih banyak dijumpai di lapisan masyarakat menengah ke bawah. Di pasar tradisional, toko kelontong, hingga pedagang kaki lima (PKL), penggunaan plastik sekali pakai masih menjadi andalan.
Berbeda nasib dengan toko modern
Di sisi lain, penerapan Perwali ini tergolong sukses di pertokoan modern. Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan, dan Pertamanan (DLHKP) Kota Kediri, Imam Muttakin menyebut, pihaknya berani menerapkan sanksi tegas kepada toko modern karena menyangkut perizinan yang berada di ranah pemkot.
“Sampai saat ini sudah ada 63 toko modern seperti minimarket, swalayan, dan retail yang tidak lagi menggunakan kantong plastik sekali pakai,” ungkap Imam.
Efeknya cukup signifikan. Sampah dari sektor ini menurun drastis dari 73 ton per tahun menjadi hanya 9,6 ton. Artinya, pengurangan mencapai 86,8 persen selama 2024.
Namun di luar sektor formal tersebut, Perwali masih sebatas dokumen. Minim pengawasan dan tanpa sanksi, membuat peraturan ini tak berdaya. Di pasar tradisional dan PKL, plastik masih mendominasi setiap transaksi.
DLHKP mencatat, rata-rata timbulan sampah di Kota Kediri mencapai 164 ton per hari. Sekitar 30-40 persen di antaranya merupakan sampah anorganik, termasuk plastik.
Minim kesadaran, solusi terus digenjot
Imam menyebut, tantangan utama pengurangan plastik berasal dari kebiasaan masyarakat. “Masih jarang yang bawa tas belanja sendiri. Di sisi lain, penjual juga merasa memberi kresek adalah bentuk pelayanan,” jelasnya.
Selain itu, peningkatan jumlah penduduk akibat urbanisasi juga menjadi faktor pemicu bertambahnya produksi sampah di Kota Kediri.
Untuk menjawab persoalan tersebut, DLHKP mulai mendorong program pengurangan sampah dari tingkat paling bawah. Salah satunya lewat lomba Zero Waste antar kelurahan yang akan digelar dalam waktu dekat.
“Konsepnya masih di level RT. Tidak boleh ada sampah yang dibuang ke TPS kecuali residu. Sampah organik harus diolah warga, dan plastik yang masih punya nilai jual akan dikumpulkan di bank sampah,” terang Imam.
Langkah lain yang terus dilakukan DLHKP antara lain edukasi saat car free day, penguatan TPS 3R, serta pembatasan plastik di lingkungan masyarakat.
Imam berharap, program ini tak hanya sekadar seremonial, tapi benar-benar menjadi gaya hidup baru masyarakat Kota Kediri. “Kalau tak dimulai dari sekarang, kita yang akan kewalahan menghadapi ledakan sampah plastik di masa depan,” pungkasnya.(red.al)
Post a Comment