KEDIRI, headlinenews.cloud – Cibiran demi cibiran tak mampu menggoyahkan mimpi Isha Setia Putri, gadis 18 tahun asal Dusun Purworejo, Desa Punjul, Kecamatan Plosoklaten, untuk menjadi penari profesional. Meski berasal dari keluarga sederhana — sang ayah seorang juru kunci makam dan ibunya penjual bunga tabur — Isha membuktikan bahwa mimpi besar tetap bisa diwujudkan dengan kerja keras dan tekad yang kuat.
"Juru kunci bayarane gak sepira ae arep neka-neka lanjut kuliah,” kenang Isha, menirukan ucapan miring orang-orang yang memandang sebelah mata niatnya kuliah seni setelah lulus SMA. Ucapan itu bukan hanya soal pendidikan, tapi tentang kelas sosial — yang dianggap tak pantas bermimpi terlalu tinggi.
Namun, Isha yang akrab disapa Acha, justru menjadikan olokan itu sebagai pemantik semangat. Deretan piala dan piagam dari berbagai lomba tari kini terpajang di rumah kakaknya di Desa Tertek, Kecamatan Pare. Dari Juara Tari dan Dance Grup MJ Education Center, Festival Anak Berbakat, Ramayana Got Talent audisi 25 kota, hingga Grand Final Jawa Timur — semua menjadi bukti nyata kemampuannya.
Minatnya di dunia tari ternyata menurun dari kakeknya yang merupakan seniman ludruk. Ketertarikan itu mendapat tempat ketika Acha diajak berlatih di sanggar tari oleh kerabatnya saat duduk di kelas 5 SD. Namun, perjuangannya tak langsung mulus.
Awalnya, orang tua Acha menentang pilihannya. Mereka berharap anaknya mengambil jurusan farmasi demi bisa cepat bekerja dan membantu keluarga. “Alasannya agar bisa cepat kerja, biar bisa bantu orang tua,” kata Acha.
Lingkungan sekitar pun tak luput dari komentar sinis. “Orang tua cuma juru kunci sama tukang sapu puskesmas. Ibuk cuma jualan kembang. Mending kerja aja bantu orang tua,” ujarnya mengulang cibiran yang kerap ia terima.
Namun Acha memilih jalan tengah: menari tanpa melupakan tanggung jawab di rumah. Ia tetap membantu sang ibu berjualan bunga saat musim ziarah, meski cibiran tetap datang. “Aku gak pernah malu punya bapak juru kunci. Justru aku bangga,” tegasnya.
Perkembangan bakatnya mulai terlihat saat SMP. Ia mulai rutin mengikuti lomba-lomba tari, hingga akhirnya pandangan kedua orang tuanya berubah. Dukungan mereka makin kuat, bahkan sang ayah dengan bangga mengatakan ingin menyekolahkan anaknya di bidang seni — walau lagi-lagi pernyataan itu jadi bahan ejekan.
Kini, Isha bukan hanya penari berprestasi, tapi juga seorang instruktur tari. Ia melatih anak-anak dan menularkan semangat serta kemampuannya. Tak sedikit anak didiknya juga berhasil meraih prestasi di berbagai ajang.
Dari balik keterbatasan ekonomi, Isha membuktikan bahwa status sosial bukan halangan untuk bermimpi. Ia mengubah cibiran menjadi prestasi, menjadikan setiap langkah tari sebagai bukti bahwa semangat, bakat, dan tekad bisa membuka jalan, bahkan untuk anak juru kunci. (RED.A)
Post a Comment