Jakarta, headlinenews.cloud – Gelombang kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan keagamaan kembali mengguncang publik. Pada akhir Juni 2025, publik dikejutkan dengan penangkapan guru ngaji berinisial AF (43) di kawasan Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan, yang diduga mencabuli sedikitnya 10 santri berusia 10–12 tahun. Modusnya: pelajaran tambahan fiqih hadas. Para korban diberi uang Rp10.000–25.000 dan diancam agar bungkam. Ironisnya, aksi ini disebut telah berlangsung sejak 2021.
Masih di bulan yang sama, muncul kasus serupa di Pulau Kangean, Sumenep, Jawa Timur. Sebanyak 13 santriwati mengaku menjadi korban pelecehan oleh pemilik sekaligus pengurus sebuah pondok pesantren. Relasi kuasa dan minimnya edukasi seksual membuat kekerasan seksual di lingkungan pesantren terus berulang.
Dalam dua tahun terakhir, setidaknya tiga kasus besar mencuat di Jakarta dan sekitarnya. Di Cengkareng, seorang guru ngaji ditangkap karena mencabuli delapan muridnya di lingkungan masjid. Di Ciputat, kasus serupa terjadi di Masjid Al-Huda, di mana delapan anak SD menjadi korban sejak 2021.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat, per 28 Juni 2025, sudah ada 13.845 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia.
Akar Masalah: Lemahnya Pengawasan dan Literasi Seksual
Tragedi berulang ini memperlihatkan adanya kelemahan sistemik dalam pendidikan non-formal keagamaan. Lemahnya pengawasan, tidak adanya standar etik, rendahnya literasi pendidikan seksual, dan tidak tersedianya mekanisme pengaduan yang efektif menjadi kombinasi yang mematikan bagi keselamatan anak-anak.
Pertanyaannya, mengapa kekerasan terhadap anak dan perempuan masih terus terjadi, terutama di lingkungan pendidikan agama?
Lima Langkah Penting untuk Memutus Rantai Kekerasan
Pengalaman sejumlah pegiat pendidikan dan perlindungan anak, seperti yang ditekuni Yayasan Cahaya Guru, menunjukkan bahwa lima langkah strategis perlu diterapkan secara sinergis antara pemerintah dan masyarakat:
Edukasi dan peningkatan kapasitas perlindungan anak
Guru dan murid harus dibekali pemahaman tentang perlindungan tubuh, consent, dan pencegahan kekerasan seksual. Anak-anak perlu tahu bahwa tubuh mereka adalah milik mereka sendiri.Regulasi dan pengawasan terhadap pendidik non-formal dan informal
Pemerintah wajib menghadirkan standar etik dan mekanisme seleksi yang ketat terhadap para pendidik agama non-formal.Penguatan sistem pengawasan dan pelaporan di tempat ibadah
Masjid, mushola, gereja, vihara, dan pura harus menyediakan ruang aman, sistem pelaporan yang mudah dan anonim, serta akses ke pendampingan psikologis.Keberanian masyarakat untuk melapor
Masyarakat perlu didorong untuk lebih proaktif mendukung korban dan tidak terjebak dalam narasi "aib keluarga" atau "menjaga nama baik lembaga".Peran orang tua sebagai garis pertahanan pertama
Orang tua harus dilatih untuk mengenali tanda-tanda kekerasan dan membangun komunikasi terbuka dengan anak. Literasi seksual harus dimulai dari rumah.
Negara Tidak Boleh Tutup Mata
Dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), negara mengakui pendidikan formal, non-formal, dan informal. Artinya, TPA, madrasah diniyah, dan pengajian termasuk dalam wilayah tanggung jawab negara. Sayangnya, guru non-formal seperti guru ngaji atau guru sekolah minggu sering kali berjalan tanpa pengawasan, tanpa pelatihan, bahkan tanpa mekanisme perlindungan anak.
Negara tidak bisa terus mengandalkan pengelolaan komunitas. Perlu intervensi nyata dan sistematis, termasuk pelibatan organisasi keagamaan lintas agama, untuk memastikan semua ruang pendidikan aman bagi anak.
Saatnya Negara Berbenah
DPR dan pemerintah tengah menyusun ulang UU Sistem Pendidikan Nasional. Momen ini harus menjadi titik balik untuk membangun sistem pendidikan yang adaptif terhadap perkembangan zaman dan berpihak kepada keselamatan anak-anak. Pendidikan agama yang luhur tidak boleh menjadi kedok untuk predator berkedok pendidik.
Sebagaimana yang dipesankan Ki Hadjar Dewantara:
"Naluri pendidik adalah keinginan dan kecakapan tiap-tiap manusia untuk mendidik anak-anaknya agar selamat dan bahagia."
Kini saatnya semua pihak—negara, masyarakat, dan orang tua—bersatu untuk memastikan anak-anak bisa tumbuh dalam lingkungan pendidikan yang selamat, bermartabat, dan merdeka dari kekerasan. (RED.A)
Post a Comment